Dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga yang terus meningkat, saya bersama keluarga membuka usaha warung telekomunikasi yang ditempatkan di depan rumah. Suatu hari datang seorang konsumen berusia paruh baya memasuki ruang telepon. Setelah hampir setengah jam penelepon berada di ruangan telepon kami mulai bertanya Tanya karena mesin pencetak resi tetap tidak berbunyi . Hal tersebut merupakan pertanda bahwa penelepon tidak berhasil melakukan komunikasi. Beberapa saat kemudian penelepon keluar sambil kebingungan.
Dengan tujuan membantu saya menghampiri dan menanyakan barang kali ada yang bisa saya bantu. Di tengah kebingungan Bapak tersebut minta bantuan agar saya mau mencoba menelepon sambil . untuk memudahkan saya menelepon bapak tersebut memberikan kartu nama dan menunjukan nomor telepon yang harus dihubungi.
Dalam hati saya berkata, “pantas saja tidak nyambung karena nomor yang dia pijit bukan nomor telepon tapi kode pos yang tertera di kartu nama”. Karena terbiasa menjadi penyuluh yang tidak suka menyalahkan langsung saya membantu menelepon dengan memijit nomor telepon yang juga ada di kartu nama, setelah nyambung baru telepon saya berikan.
Sambil menunggu si penelepon saya berfikir bagai mana cara member tahu tanpa menyinggung perasaan (maklum penyuluh). Setelah selesai membayar tagihan sambil memberikan resi pembayaran saya berpesan agar lain kali apabila mau menelpon menggunakan nomor yang ada di resi, bukan yang ada di kartu nama.
Karena merasa sudah selesai membantu saya masuk kembali ke rumah. Si Bapak kelihatannya penasaran dan mencoba membandingkan nomor yang ada di resi dengan ada di kartu nama, rupanya dia baru sadar bahwa dia salah memijit nomor. Sambil berjalan pulang, dia menoleh berkali-kali ke dalam rumah dan senyum senyum sendiri menyadari kesalahannya.